Kamis, 12 Desember 2013

Rabithah Cinta by Afifah Afra


"Jika boleh memilih, aku ingin seorang suami yang berprofesi sebagai petani." Kalimat itu sering kali terucap dari bibirnya.
"Kenapa mesti petani?" tanya seorang kawan.
"Karena, aku mencintai alam."
Bukan. Kisah ini bukan menceritakan tentang seorang wanita yang menikah dengan petani sebenarnya. Ini adalah sebuah metafor. Penggambaran indah dari sebuah filosofi petani, tentang kesabaran, kesetiaan dan pengorbanan cinta yang dibalut keyakinan pada rahmat-Nya, dalam pergulatan hidup Syakilla dan Riyan suaminya, di bumi Papua.

Syakilla yang sejak kuliah sudah merintis karier mendirikan lembaga konsultasi pengembangan Sumber Daya Manusia bernama Smart ini, tak pernah menyangka bahwa kata-kata suaminya di malam pertama mereka menikah, Dokter Riyan, suatu hari benar-benar menjadi kenyataan. Ya. Riyan benar-benar mengajaknya ke Papua. Tidak ada excuse sama sekali! Tidak lagi setelah Riyan bersabar selama empat tahun lamanya, dimana waktu itu Syakilla sedang jaya-jayanya dengan Smart, dan sedang giat-giatnya merajut mimpinya bersama teman-teman kampusnya sesama pendiri lembaga itu. Empat tahun lalu mungkin Syakilla bisa mengelak, dan Riyan mengalah. Tapi kali ini tidak lagi. Keputusan Riyan sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. 

Rabu, 11 Desember 2013

Dark Places by Gillian Flynn



"It was miserable, wet bone March and I was lying in bed thinking about killing myself, a hobby of mine."

Libby Day memang tampak seperti seorang wanita biasa; berumur 31 tahun, tidak menikah, tinggal sendiri di sebuah perumahan semi kumuh di daerah Kansas City, Missouri. Tubuhnya kecil, dengan rambut pirang yang menyembunyikan warna rambut aslinya yang merah (belakangan warna merah itu kembali menyembul dari pangkal akar rambutnya yang ia sebut sebagai sesuatu yang menyeramkan). Tidak ada yang salah dengan Libby Day. Kecuali satu: masa lalunya yang gelap, dimana ia sebagai anak kecil menyaksikan keluarganya meninggal dalam The Kinnakee Kansas Devil Massacre.

"I can never dwell in these thoughts. I've labeled the memories as if they were a particularly dangerous region: Dark Place."
Semua dimulai pada 3 Januari 1985, dimana Libby kecil yang waktu itu baru berumur 7 tahun, menemukan keluarganya habis dibantai. Kepala ibunya, Patty Day, ditembak beberapa kali, dengan badan nyaris terbelah dua dipotong kampak, dan beberapa luka dari sayatan pisau pemburu. Michelle, kakak perempuannya yang berumur 10 tahun, tewas dicekik. Sedangkan Debby, kakak keduanya, berumur 9 tahun, mati mengenaskan dengan luka bacokan dari kampak yang sama yang dipakai untuk membunuh ibunya. Libby sendiri selamat karena berhasil kabur melalui jendela kamar ibunya. Walaupun sempat pingsan di dalam hutan karena kedinginan, dirinya tidak mati - kecuali beberapa jari kakinya yang membeku dan terlepas. Yang aneh dalam kasus itu adalah: adanya pentagram (lambang sihir) yang dilukis di dinding dengan darah, seperti sebuah ritual pemujaan setan atau semacamnya.

Sabtu, 07 Desember 2013

The Fault In Our Stars by John Green


".... depression is not a side effect of cancer. Depression is a side effect of dying."

Ya, seperti itulah kira-kira kalimat awal tokoh "Aku" dalam novel ini - membicarakan kematian, dan lebih banyak lagi pembicaraan tentang kematian dalam lembar-lembar berikutnya. Kematian, bagi Hazel Grace Lancaster, seorang remaja berumur 16 tahun penderita kanker thyroid yang sudah merembet ke paru-parunya itu, adalah hal yang cepat atau lambat pasti akan datang. Dalam kasusnya, kematian itu sesuatu yang harus dijadikannya teman, seolah-olah dia akan datang menyapa besok, atau lusa, atau mungkin semenit kemudian. Tak peduli walaupun ia ikut grup motivasi, Support Group, yang atas dorongan ibunya, diikutinya setiap minggu. Atau American's Next Top Model, acara membosankan yang setiap hari ia tonton berulang-ulang. Hidup baginya hanya sekedar menunggu dalam bosan. Menunggu kematian. Tidak ada hal yang menarik lagi di dunia Hazel sampai kemudian ia bertemu dengan remaja tampan penderita osteosarcoma, dengan kaki robotnya: Augustus Waters.

Augustus, atau Gus, bagi Hazel adalah segalanya. Perkenalan mereka yang tidak sengaja, dari sebuah perdebatan tentang ketakutan akan kehilangan dan terlupakan di Support Group itu, merupakan awal dari perbincangan-perbincangan aneh dan nyeleneh yang hanya mereka berdua yang mengerti. Bahkan kegemaran Gus mengenai metafor, seperti bagaimana ia meletakkan rokok di mulutnya - di depan Hazel yang jelas-jelas bermasalah dengan kanker paru-parunya! Dan saat Hazel marah akan hal itu, Gus hanya berkata,