Sabtu, 07 Desember 2013

The Fault In Our Stars by John Green


".... depression is not a side effect of cancer. Depression is a side effect of dying."

Ya, seperti itulah kira-kira kalimat awal tokoh "Aku" dalam novel ini - membicarakan kematian, dan lebih banyak lagi pembicaraan tentang kematian dalam lembar-lembar berikutnya. Kematian, bagi Hazel Grace Lancaster, seorang remaja berumur 16 tahun penderita kanker thyroid yang sudah merembet ke paru-parunya itu, adalah hal yang cepat atau lambat pasti akan datang. Dalam kasusnya, kematian itu sesuatu yang harus dijadikannya teman, seolah-olah dia akan datang menyapa besok, atau lusa, atau mungkin semenit kemudian. Tak peduli walaupun ia ikut grup motivasi, Support Group, yang atas dorongan ibunya, diikutinya setiap minggu. Atau American's Next Top Model, acara membosankan yang setiap hari ia tonton berulang-ulang. Hidup baginya hanya sekedar menunggu dalam bosan. Menunggu kematian. Tidak ada hal yang menarik lagi di dunia Hazel sampai kemudian ia bertemu dengan remaja tampan penderita osteosarcoma, dengan kaki robotnya: Augustus Waters.

Augustus, atau Gus, bagi Hazel adalah segalanya. Perkenalan mereka yang tidak sengaja, dari sebuah perdebatan tentang ketakutan akan kehilangan dan terlupakan di Support Group itu, merupakan awal dari perbincangan-perbincangan aneh dan nyeleneh yang hanya mereka berdua yang mengerti. Bahkan kegemaran Gus mengenai metafor, seperti bagaimana ia meletakkan rokok di mulutnya - di depan Hazel yang jelas-jelas bermasalah dengan kanker paru-parunya! Dan saat Hazel marah akan hal itu, Gus hanya berkata,


"They don't kill you unless you light them," he said as Mom arrived at the curb. "And I've never lit one. It's a metaphor, see. You put the killing thing right between your teeth, but you don't give it the power to do its killing."
(Rokok tidak membunuh kalau tidak dinyalakan. Aku 'gak pernah menyalakannya. Ini sebuah metafora. Kau letakkan si pembunuh di antara gigi-gigimu, tapi kau tidak memberikannya kekuatan untuk membunuhmu).
Maka kisah keduanya pun dimulai. Dari pembicaraan tentang film, kemudian buku, kemudian keduanya untuk bertukar kegemaran. Hazel meminta Gus membaca An Imperial Affliction, buku karangan Van Houten si pengarang dari Belanda - buku favorit Hazel. Sedangkan Gus meminta Hazel membaca serial The Price of Dawn yang adalah alih media dari video game favorit Gus, Counterinsurgence. Pertukaran hobby itu berhasil, karena An Imperial Affliction akhirnya menjadi buku favorit yang mereka baca - dan bicarakan - berulang-ulang dimanapun mereka berada. Apalagi akhir ceritanya yang menggantung itu. Membuat Gus dan Hazel penasaran mengenai akhir dari cerita dalam buku itu.

Tak henti-hentinya Hazel (dan Gus) mengirim surat kepada Peter Van Houten si pengarang buku itu demi memuaskan rasa penasaran mereka. Alangkah terkejutnya ketika suatu hari, surat itu dibalas - oleh Van Houten sendiri. Apa isi surat itu, dan apa yang akan dilakukan Hazel dan Gus, serta apa peranan Peter Van Houten dalam cerita ini?

***
Kira-kira itulah sepenggal cerita yang diambil dari buku The Fault In Our Stars ini. Saya pertama lihat waktu di Periplus dan Books & Beyond. Akhir-akhir ini memang buku itu sering dipajang di rak "bestseller" di toko-toko tersebut. Saya dengar sih memang akan segera difilmkan. Jadi pas saya lagi dinas dan kebetulan mampir di Cengkareng, saya ambil saja satu dari Periplus buat menemani perjalanan selama di pesawat.

Terus apa yang saya sukai dan tidak saya sukai dari buku ini?

Saya suka:

Dialog-dialognya. Cerdas dan banyak memakai kata yang jarang saya temui (atau sayanya aja yang kurang jago English sih hehe). Udah gitu, banyak sekali metafor atau perumpamaan yang buat kita jadi ngangguk-ngangguk dan "wah, boleh juga nih". Seperti itu. Istilahnya, quotable sekali. (Psst..belakangan saya baru tahu kalau buku ini sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, oleh penerbit Qanita. Duh! Tau gitu..).

Saya kurang suka:

Tokohnya. Banyak yang review novel ini bilang bahwa Augustus Waters itu too good to be true. Saya kira, iya dan tidak. Iya, karena di novel ia digambarkan keren-luar-biasa secara fisik (ditulis "he's so dead sexy"). Selain itu perlakuan dia ke Hazel bener-bener yang gak remeh-temeh-alay kayak anak muda zaman sekarang. Semua perhatian Augustus Waters ke Hazel itu semuanya berarti, dan metaforis semua. Klepek-klepek deh. Misalnya pas Hazel pengen ke Belanda tapi lagi sakit. Eh si Augustus ini tiba-tiba ngajak Hazel ke sebuah taman gitu, yang ada tulip, terus pokoknya digambarkan se-Belanda mungkin. So sweet sekalee. Tidak? Karena yah..sekeren-kerennya Augustus, dia tetep remaja dan kebanyakan remaja itu kalau gak pesimis ya narsis. Saya ngerasa Augustus narsis. (IMHO lhoo).

Lalu heroine-nya, si Hazel. Entah ya, tapi dia ini terlalu pesimis alias sangat sembarangan dalam menilai kehidupan. Istilahnya dia tuh memandang semua hal dari sisi negatif. Lalu Augustus akan memperbaiki pandangan itu dengan caranya - walaupun Hazel yang keras kepala biasanya 'gak begitu saja menerima. Bagi saya, kematian itu bukan sesuatu yang bisa dijadikan bahan bercandaan. Di sini, Hazel berkali-kali membuat jokes tentang kematian; terutama dengan Isaac (temannya Augustus). Duh, kalau saya jadi Isaac, atau kalau saja kita 'gak tau kalau Hazel juga penderita kanker, pasti emosi banget tuh. Tapi yah..mungkin itu inside jokes yang hanya bisa dimengerti oleh penderita kanker dalam cerita ini (maaf, tidak maksud menyinggung di sini).

Terakhir, bagaimanapun Hazel dan Augustus itu remaja loh. Kok rasanya agak aneh ya remaja bisa ngobrol dengan segitu cerdasnya (pake kata-kata sulit dan semi puitis), atau saling cinta sampai segitunya, sampai banyak adegan yang bikin nangis-nangis (yaiyalah, namanya juga cerita tentang kanker). Hiks. Ceritanya? Agak-agak banyak twist di sini. Tapi bagi pembaca berpengalaman mungkin sedikit gampang ditebak sih.

Over all, saya suka-suka aja sih baca novel ini. Baca lagi? Bisa ya, bisa tidak. Ya, karena banyak tulisan yang quotable. Tidak, karena kurang suka jenis cerita yang banyak nangisnya begini. Hehe.

"That's the thing about pain", Augustus said, and then glanced back at me. "It demands to be felt".

Beli di mana?
versi asli (langsung ke Periplus atau Books & Beyond aja..hehe).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa komen ya :)