Minggu, 12 Januari 2014

Hex Hall by Rachel Hawkins


Sophie Mercer tidak pernah menyangka, bahwa mantra cinta yang ia lemparkan demi menolong temannya untuk mendapatkan pasangan dalam prom malam itu, mengakibatkan kehebohan besar di sekolahnya. Kehebohan yang merepotkan semua orang sampai akhirnya Sophie terpaksa harus menghabiskan sisa masa SMA-nya di Hecate Hall - atau sering disebut Hex Hall - sebuah sekolah khusus prodigium (monster!) yang melakukan banyak kekacauan di depan manusia biasa. Oke. Kata lain untuk Hex Hall memang, Lembaga pemasyarakatan untuk remaja Prodigium.

Yang dimaksud prodigium di sini banyak macamnya, ada shapeshifter, peri, penyihir, juga vampir. Bahkan Jenna, teman sekamar Sophie yang sangat tergila-gila dengan warna pink itu, adalah seorang vampir! (Hanya ada dua vampir di sekolah itu dan satunya lagi adalah pengajar).
Mom berbinar-binar dan menjabat tangan Jenna.
"Senang bertemu denganmu. Apakah kau, eh, apakah kau penyihir seperti Sophie?"
"Mom," bisikku, tetapi Jenna menggelengkan kepalanya dan berkata, "Bukan, Ma'am. Vampir."

Kehidupan Sophie di Hex Hall bagaikan penjara. Semua kekuatan sihirnya (yup. Sophie Mercer adalah penyihir) tidak berfungsi dengan baik di sini. Namanya juga sekolah. Agar para prodigium tidak saling menyerang dan membahayakan satu sama lainnya, kekuatan mereka harus di-represi. Namun seperti sekolah SMA normal lainnya, tentu saja Sophie punya love interest, Archer Cross yang misterius. Yang mana saat itu Archer masih berpacaran dengan Elodie, satu dari tiga gadis penyihir paling populer di Hex Hall. Tapi bukan Archer dan Sophie yang menjadi satu-satunya inti cerita di sini.
"Holly?" tanyaku. "Seperti, Holly yang dulunya teman sekamar Jenna Talbot?"
---
"Dengar," katanya, sambil meraih tanganku. "Holly bukan lulus atau pindah. Dia meninggal."
Anna pindah ke sisi tubuhku yang satunya, matanya terbelalak dan ketakutan. "Dan Jenna Talbot-lah yang membunuhnya."
Tapi Sophie tidak bisa percaya begitu saja. Sebab, Jenna itu sahabatnya, dan walaupun dia vampir, Jenna dulunya adalah sahabat Holly. Selain itu, kelakuan tiga penyihir hitam populer itu juga sangat mencurigakan. Tambahan lagi, pertemuan Sophie dengan hantu Alice, neneknya yang adalah penyihir hitam yang sangat kuat itu, merupakan salah satu kunci dalam menemukan jawaban dari semua misteri, yang bahkan membongkar misteri baru tentang siapa - atau "apa", Sophie yang sebenarnya.

Jadi, benarkah Holly, salah satu murid Hex Hall yang meninggal dengan dua lubang di lehernya dan darah mengering dari tubuhnya itu, dibunuh oleh Jenna si vampir? Dan, siapakah Sophie yang sebenarnya?

***

Membaca Hex Hall benar-benar memberikan sensasi tersendiri buat saya. Saya memang penggemar cerita fantasi - terutama yang berkaitan dengan hal-hal supranatural dan paranormal romance. Jadi sudah pasti saya menghabiskan banyak waktu begadang demi cepat-cepat menyelesaikan Hex Hall. Dan ini 'gak sia-sia, karena buku ini terjemahannya bagus banget! Seperti gaya terjemahan di serial Goosebumps, dimana semua hal diterjemahkan ke bahasa Indonesia namun "rasa" import-ya masih ada.

Penggambaran latar, yaitu pulau Graymalkin sebagai lokasi Hex Hall kurang lebih membuat saya agak De Ja Vu dengan beberapa cerita sejenis - Teenage Witch, Harry Potter, you name it! Selain itu, rasa teenlit-nya yang kental tidak menghilangkan esensi cerita dan petualangan di dalamnya. Tidak menye-menye seperti Twilight, misalnya. Sophie Mercer sebagai tokoh utama yang punya sifat keras kepala dan sering melontarkan sarkasme menggelitik, bisa menjadi favorit saya dan saya senang membacanya sebagai "aku".
"Aku sedang mengalami gejolak remaja, Mrs. Casnoff," jawabku. "Aku butuh, begitulah, butuh menulis di dalam buku harianku atau apalah."
Buku petualangan - fantasi - penuh sihir begini memang tidak afdol rasanya kalau cuma satu jilid, jadi Rachel Hawkins membuatnya dalam bentuk trilogi (actually, saya sudah baca ketiganya sih). Hex Hall merupakan buku pertama, disusul Demon Glass di buku ke dua dan Spell Bound sebagai buku ke tiga. Sedikit spoiler nih, di buku ke dua dan ke tiga ceritanya mulai serius dan berbagai rahasia yang di buku pertama bikin penasaran akhirnya terbongkar. Tapi daripada saya beberkan rahasia apa sajakah itu, sepertinya lebih baik anda membacanya sendiri. Gaya penceritaannya asyik dan setiap bab diakhiri secara "menggantung". Over all, saya suka buku ini dan tidak keberatan membacanya berulang-ulang jika senggang.


1 komentar:

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa komen ya :)